Senin, 07 September 2009

Menakar Jiwa Syukur

Di sebuah masjid salah satu BUMN, jamaah sholat jumatnya rata-rata 2000 orang ..

“Anda termasuk orang yang tidak bersyukur!”, Apa yang akan anda katakan saat ada seorang yang bertanya demikian?

Wajar kita marah kalau dituduh sebagai orang yang tidak bersyukur. Wajar kita 'tersindir berat' saat diragukan kesyukuran kita, lebih-lebih yang bertanya itu adalah Allah SWT, penggenggam setiap nyawa manusia. Adalah baik manakala kita masih bisa tersinggung dengan ucapan itu. Itu artinya hati kita masih peka, merasakan sindiran halus.

Lantas apa yang perlu dilakukan selanjutnya dengan ucapan tadi? Diakui atau tidak, sifat manusiawi kita lebih memilih kesenangan jangka pendek ketimbang jangka panjang. Lebih memilih kesenangan duniawi daripada kebahagiaan akhirat. Pada dasarnya, manusia tidak mau berpayah-payah menjalani kehidupan semu ini. Enggan berbagi dengan sesama. Enggan berkorban untuk kemajuan atau perkembangan orang lain, saudara kita. Karena setiap saat ada setan di depan, belakang, kanan, dan kiri yang membisiki,”Itukan hasil keringatmu sendiri, apa kamu rela oranglain dapet enaknya juga. Mereka kan gak kerja keras seperti kamu, wajar dong mereka hidup susah!”.



Rasa syukur bisa diwujudkan dengan berkata jujur, berkata baik, berhati lembut, senang berbagi, ringan tangan, lidah yang tak lelah mengucap asma Allah, raga diniatkan untuk mendalami ilmu agama, mulut tidak digunakan untuk menggunjing, serta harta untuk diinfakkan. Sungguh jika semua hal di atas telah dan senantiasa kita lakukan, insyaAllah kesyukuran kita akan semakin sempurna. Sempurna penerimaan Allah. Sempurna pengabdian diri sebagai khalifatullah. Sempurna memanfaatkan semua potensi diri.

Kufur Nikmat

Atas RububiyyahNya Allah memberikan hidayah gharizah kepada semua makhlukNya, tak terlepas pun manusia. Gharizah adalah keinginan untuk makan ketika lapar, kemauan untuk minum ketika haus, hasrat untuk istirahat di saat lelah, dia adalah naluriah manusia.

Sebagai Sang Khaliq Allah sangat mengetahui bahwa salah satu watak dasar manusia adalah cenderung melakukan hal-hal yang didorong oleh hawa nafsu dan cenderung pada kejahatan. Namun demikian, hal ini tidak berlaku untuk semua manusia, nafsu yang diberi rahmat oleh Allah memiliki kecenderungan sebaliknya, yaitu keinginan kuat untuk selalu dan senantiasa berbuat baik serta bermanfaat. Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku [QS. Yusuf:53].

Harta benda yang Allah karuniakan, pembelanjaannya tidak lepas dari pengaruh hawa nafsu. Bayangkan saja, tidak berat melepas lembaran seribu rupiah untuk bayar parkir, toilet umum, jajan, bayar angkot, bahkan ada orang yang enggan menyimpan lembaran seribu rupiah tersebut. Berbeda halnya saat kotak infak sholat jumat di edarkan memutari semua shaf, lihatlah kawan! Mana yang lebih banyak, meneruskan perjalanan atau berhenti karena ada yang ngisi?

Di sebuah masjid salah satu BUMN, jamaah sholat jumatnya rata-rata 2000 orang. Saat pembacaan laporan saldo di awal khutbah disampaikan bahwa seminggu sebelumnya infak yang diperoleh di kisaran dua juta rupiah, tak jauh dari itu. Padahal kan seharusnya bisa jauh lebih besar dari itu bukan? Jika satu orang menyisihkan seribu rupiah saja, angkanya sudah mencapai dua juta. Sementara ada yang berlomba berinfak hatta ada yang memberikan seratus ribu rupiah. Jadi, angka dua juta rupiah itu bukan karena semua orang berinfak, bukan sobat. Tapi lebih karena kesadaran sebagian orang untuk berinfak tidak sekadarnya, tidak cukup hanya dengan seribu rupiah, tapi menyempurnakan kesyukuran terhadap rizki yang dikaruniakan, 100 ribu.

Sobat, rasakan kedalaman salah satu ayat dalam AlQuran:

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.

Benarkan? Begitu dalam. Tidak hanya harta yang diinfakkan. Masih banyak manifestasi atau pengamalan bentuk rasa syukur kepada Allah. Hati yang bersih, Jiwa yang lapang, pandangan yang menyejukkan, perilaku yang menyelamatkan, perkataan yang santun, dan masih banyak lagi. Melihat titah Allah dalam hal bersyukur, semua perilaku yang bertolak belakang dengannya berarti kufur. Dan kufur adalah mengingkari Allah. Dan akibatnya, Allah tentu akan murka dengan orang yang kufur. Murka itu bisa berbentuk kehidupan yang sempit, baik berupa harta (material) maupun jiwa (immaterial). Na’udzubillahi mindzalik.

Mendidik Jiwa yang Bersyukur

Jika dibiarkan saja, manusia tentulah menjadi makhluk yang tidak bersyukur. Oleh karenanya Allah mengutus nabi dan rasul untuk mendidik manusia agar menjadi khalifah di muka bumi. Bayangkan saja, dengan adanya nabi pun masih saja ada kaum yang ingkar dan menentang Allah, bagaimana kalau sama sekali tidak ada yang menyeru pada kebaikan. Sobat, ingatlah bagaimana kaum nabi Luth, kaum ‘Ad, dan Fir’aun.

Untuk bisa bersyukur kita harus terlebih dahulu menyadari bahwa jiwa kita senantiasa perlu dididik serta diarahkan, kapan saja di mana saja. Ingatlah ayat berikut:

Dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. [Q.S. As-Sajdah: 9].

Ingat, Allah telah mengabarkan bahwa pada dasarnya manusia itu hanya sedikit yang bersyukur. Tidak percayakah? Coba hitung, saat ini berapa jumlah muslim di dunia? Berapa persen dari seluruh penduduk dunia? Dari jumlah itu, berapa persen yang rajin shalat berjamaah ke masjid? Berapa orang yang rutin berzakat? Berapa persen yang rajin berinfak? Berapa persen yang menjaga lisan dan tangannya? Berapa orang kawan? Itulah sedikit bukti manusia itu sedikit yang bersyukur.

Salah satu bentuk bersyukur adalah senantiasa berbuat kebaikan. Kapan pun, di manapun, kepada siapapun, sekecil apapun amalan? Dari banyak amal sholeh yang disediakan, berapa persen yang kita terbentik dan tertarik mengamalkannya. Coba hitung! Seorang ulama kenamaan dari Mesir pada abad pertengahan, menyusun rembu-rambu untuk mengecek apakah kita termasuk orang yang bersyukur. Beliau mengatakan,”Di antara tanda matinya hati adalah tidak adanya perasaan sedih bila terlewatkan kesempatan beramal, dan tidak adanya penyesalan atas bermacam pelanggaran yang telah engkau lakukan“. Beliau adalah Syaikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari.

Wallahu a’lam bish-shawab.

abbaz.sukarno
sukarno@gmf-aeroasia.co.id

Author : PercikanIman.ORG

Tidak ada komentar: