Minggu, 21 Desember 2008

dari situs ekonomi Islam

aksleresi bi

Market share bank syariah di Indonesia saat ini, relatif masih kecil, belum mencapai 2 % dari total asset bank secara nasional. Padahal perbankan syariah telah mulai berkembang sejak tahun 1992 dengan kehadiran Bank Muamalat dan berkembang luas sejak 1999 serta mengalami “booming” tahun 2004. Bank Indonesia (BI) telah memasang target market share perbankan syariah sebesar 5 % pada Desember 2008. Untuk mencapai target tersebut, Bank Indonesia telah membuat program akselerasi sebagaimana yang dituangkan dalam blueprint perbankan syariah BI. Namun program tersebut, masih banyak memiliki kekurangan dan kelemahan. Karena itu perlu masukan kepada Bank Indonesia dalam mencapai target tersebut.

Kita tidak bermaksud, mencapai target 5 % secara ijbari (pemaksaan), seperti, konversi salah satu Bank BUMN yang konvensional menjadi syariah. Walaupun cara tersebut positif bagi pertumbuhan bank syariah dan bagus dilakukan, namun pertumbuhan karena kecerdasan dan kesadaran umat jauh lebih bagus. Kalau melalui cara unorganik seperti itu, tidak perlu masanya sampai 2 tahun. Bahkan tidak sampai 1 tahun target tersebut sudah tercapai. Yang kita inginkan market share 5 % adalah melalui pertumbuhan organik dan alamiyah, dimana masyarakat Indonesia secara cerdas dan akal sehat mempraktekkan perbankan syariah. Mengamalkan bank syariah tidak baik dengan pemaksaaan. Mengamalkan perbankan syariah tidak boleh secara emosional, yakni karena label syariah. Mengamalkan bank syariah tidak boleh juga ikutan-ikutan. Mengamalkan bank syariah, harus didasarkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang keunggulan bank syariah dan kezaliman bunga. Allah melarang mengikuti sesuatu tanpa dasar ilmu. Firman Allah, Janganlah kamu ikuti sesuatu tanpa dasar ilmu: 17: 36).

Prof.Dr. Mannan mengatakan, kita tidak boleh mengembangkan lembaga perbankan syariah, tanpa membangun jiwa dan pemahaman ekonomi syariah kepada pribadi-pribadi masyarakatnya. Jika pemahaman umat tidak diperhatikan, maka gerakan perbankan syariah akan berjalan lambat dan nasabahnya tidak kuat, alias rapuh.

Masalah Pengembangan Bank syariah

Banyak faktor yang menyebabkan mengapa umat Islam belum berhubungan dengan bank-syariah, antara lain Pertama, Tingkat pemahaman dan pengetahuan umat tentang bank syariah masih sangat rendah. Masih banyak yang belum mengerti dan salah faham tentang bank syariah dan menggangapnya sama saja dengan bank konvensional, Bahkan sebagian ustaz yang tidak memiliki ilmu yang memadai tentang ekonomi Islam (ilmu ekonomi makro;moneter dan teknis perbankan) masih berpandangan miring tentang bank syariah, karena kurang informasi keilmuan tentang bank syariah. Kedua, Belum ada gerakan bersama yang optimal dalam skala besar untuk mempromosikan bank syariah. Ketiga, Terbatasnya pakar dan SDM ekonomi syari’ah. Keempat, Peran pemerintah masih kecil dalam mendukung dan mengembangkan ekonomi syariah. Kelima, Peran ulama, ustaz dan dai’ masih relatif kecil. Ulama yang berjuang keras mendakwahlan ekonomi syariah selama ini terbatas pada DSN dan kalangan akademisi yang telah tercerahkan. Bahkan masih banyak anggota DSN yang belum menjadikan tema khutbah dan pengajian tentang bank dan ekonomi syariah. Keenam, para akademisi di berbagai perguruan tinggi, termasuk perguruan Tinggi Islam belum optimal. Ketujuh, peran ormas Islam juga belum optimal membantu dan mendukung gerakan bank syariah. Terbukti mereka masih banyak yang berhubungan dengan bank konvensional. Kedelapan, Bank Indonesia ”belum serius” mengembangkan bank syariah. Meskipun di Bank Indonesia banyak para mujahid ekonomi syariah dan meski telah ada direktorat bank syari’ah dan berbagai kebijakan (regulasi) yang mendukung lewat PBI, seperti office channeling, namun dari sisi alokasi dana untuk edukasi, sosialisasi dan promosi masih sangat minim. Jadi, ketidakseriuan itu dilihat dari minimnya alokasi dana untuk sosialisasi. Sehingga dana promosi sebuah bank swasta, jauh lebih besar dari seluruh bank syariah yang jumlahnya lebih dari 21 bank syariah yang ada di Indonesia.

Sosialisasi perbankan syariah yang dilakukan Bank Indonesia, masih kecil. Bayangkan, selama kurun waktu 1 tahun, sosialisasi dalam bentuk seminar, workshop dan training yang dilakukan Bank Indonesia hanya 50 kali (lihat Blue print bank Indonesia). Aneh, betapa kecilnya peran sosialisasi tersebut. Bank Indoensia sebagai lembaga keuangan pemerintah yang sangat besar, hanya bisa 50 kali setahun dengan banyak personil. Padal wilayah dan daerah Indonesia sangat luas, Komponen masyarakat sangat beragam. IAEI saja, sebagai lembaga jihad ekonomi syariah, lebih dari 50 kali dalam setahun memberikan seminar, training, workshop, dialog, ceramah, khutbah jumat perbankan syariah, padahal IAEI sama sekali tidak memiliki dana.

Meskipun ada PKES (Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah), namun gerakannya sangat kecil dan amat terbatas, personilnya juga sangat sedikit. Hal ini berbeda dengan Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) yang memiliki jaringan yang luas yang tersebar di seluruh Indonesia dan personil yang banyak. Mestinya Bank Indonesia menumbuhkan 100 atau malah 400 cabang PKES di Indonesia, bukan hanya satu PKES di pusat dengan personil yang sangat terbatas.

Cara menumbuhkannya ialah, Bank Indonesia bekerjasama dengan IAEI, dengan menjadikan DPW/DPD IAEI di berbagai propinsi dan Pusat-Pusat Kajian Ekonomi Islam di berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia untuk mensosialisasikan perbankan syariah secara terprogram, terukur dan teraudit dana kegiatannya. Maka Bank Indonesia, harus mensupport dana sekedarnya kepada wadah tersebut dan lembaga-lembaga Kajian Bank Syariah serta forum-forum studi bank syariah dengan penggunaan dana yang dapat dipertanggung jawabkan. Kegiatan yang digelar benar-benar signifikan untuk mendorong percepatan perkembangan bank syariah, seperti Training dan warkshop ulama yang berkelanjutan, Training dosen-dosen ekonomi, guru SMU sederajat, pencetakan buletin, dsb). PKES yang ada selamaini bisa sebagai kordinator seluruh Indonesia dibantu oleh IAEI Pusat.

Kita dari IAEI sanggup berjuang untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari virus riba yang masih merusak perekonomian bangsa. IAEI memiliki jaringan luas di setiap daerah dan kampus-kampus. Orang-orang kampus biasanya bekerja mengembangkan perbankan syariah bukan untuk tujuan proyek atau mendapat untung, tetapi benar-benar berjihad untuk membumikan perbankan syariah di Indonesia. Maka, hasil kegiatan edukasi dan sosialisasi lembaga-lembaga pendidikan dan pusat studi ekonomi Islam tersebut, harus dapat diukur dan dibuktikan, dari sisi peningkatan omzet, asset maupun jumlah nasabah. Jika perlu, mereka dipasang target. Lembaga_lembaga Kajian dan Forum-Forum itu dapat dijadikan sebagai corong dan ujung tombak pengembangan bank syariah, sebagaimana halnya PKES.

Organisasi seperti Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), menjadi keniscayaan dan kewajiban bagi Bank Indonesia untuk memberikan sumbangan dananya, agar IAEI bisa lebih dinamis dan proaktif mensosialisasikan bank syariah, baik di dunia kampus, pejabat pemerintah, ulama, hartawan, pengusaha dan masyarakat luas. Lebih separoh program kegiatan IAEI bertujuan mempromosikan bank syariah dan meningkatkan asset bank-bank syariah. Namun IAEI tidak memiliki dana untuk bergerak, akhirnya sulit melaksanakan kegiatan promosi bank syariah ke masyarakat luas. Gerakan IAEI lebih banyak ke kampus-kampus .

Bank Indonesia juga harus mendukung dan mempelopori pembentukan organisasi dai’ ekonomi syariah. Di Medan telah dibentuk Forum Komunikasi Da’i Ekonomi Syariah. Pembentukan ini diilhami oleh kegiatan Workshop Ulama yang kita laksanakan. Semangat jihad mereka terbakar untuk mendakwahkan perbankan syariah, demi menyelamatkan umat dari sistem ribawi. Di tingkat Nasional hal ini perlu diwujudkan.

Setiap da’i memiliki ribuan jamaah. Tidak jarang seorang da’i berceramah dan berkhutbah sampai 10-15 kali ceramah dalam seminggu. Setiap da’i bisa ceramah di hadapan ratusan bahkan ribuan jama’ah. Bila mereka memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang bank syariah, maka fatwa-fatwa mereka tidak lagi datar dalam memandang bank syariah, tetapi secara mantap dan penuh keyakinan ilmiah mengharamkan bunga bank serta mewajibkan umat memilih bank syariah. Umumnya da’i belum memahami dampak bunga bank yang sangat mengerikan bagi perekonomian negara dan dunia. Maksudnya, belum banyak training ”serius” yang diikuti ulama tentang dampak bunga secara empiris dan fakta ilmiah berdasarkan teori ekonomi modern. Karena itu mereka perlu dilatih dengan tuntas dan pendekatan yang komprehensif. Selama ini presentasi bank syariah kepada ulama umumnya dilakukan oleh praktisi bank syariah yang bukan ulama atau ulama yang bukan ekonom. Akibatnya target ceramah untuk menciptakan ulama yang haqqul yakin secara ilmiah tentang keharaman bunga bank tidak tercapai. Karena itu masih banyak ustaz yang merasa biasa-biasa saja menabung atau (menyetor ONH) di bank konvensional. Bila ada 60.000 ulama yang bergerak secara serentak mewajibkan umat memilih bank syariah dan dengan haqqul yakin mengharamkan bunga di atas mimbar jumat atau halaqah pengajaian , maka akan terjadi booming hebat bagi pertumbuhan bank-bank syariah.

Selain itu, Bank Indonesia perlu memperhatikan, bahwa selama ini para dosen ekonomi syariah sering diundang untuk memberikan seminar dan ceramah di kampus-kampus, di ormas Islam, tetapi seringkali dosen ekonomi Islam tersebut sama sekali tidak diberi hanor oleh panitia karena keterbatasan dana panitia pelaksana. Mengandalkan semangat jihad untuk memerangi riba tidak cukup dengan semangat saja, tanpa alat dan senjata. Senjata itu antara lain adalah dana sekedarnya selain semangat jihad yang berkobar untuk memerangi riba.

Fakta membuktikan bahwa biaya untuk mengembangkan bank syariah oleh Bank Indonesia masih sangat kecil, sehingga dalam berbagai momentum promosi bank syariah, sumbangan Bank Indonesia masih sangat kecil. Kalau Bank Indonesia mau mengalokasikan sedikit dana untuk pengembangan bank syariah, niscaya market share bank syariah tidak seperti sekarang ini. Kecilnya market share ini sebagian besar disebabkan karena sedikitnya alokasi dana untuk pengembangan bank syariah dari Bank Indonesia. Kalau kita lihat peran Bank Indonesia dalam mengembangkan bank syariah dalam cost/biaya promosi, jumlahnya masih sangat kecil. Dan karena itu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Bank Indonesia mengembangkan bank Syariah, hanya modal dengkul, mengingat minimnya dana promosi bank syariah dibanding dana untuk promosi bank konvensional. Kalau bank Indoensia serius ingin menyelamatkan ekonomi bangsa ini dengan syariah yang adil ini, maka BI harus berani keluar sedikit dana-lah. Jadi bukan seperti sekarang ini, nyaris tak terasa.

Penutup

Kita membutuhkan dana untuk edukasi dan pencerdasan masyarakat tentang bank syariah. Promosi, pendidikan dan pelatihan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Termasuk untuk mentraining ulama dan dosen secara berkelanjutan. Ulama sebagai ujung tombak keberhasilan sebuah program belum dilirik secara serius oleh Bank Indonesia. Ada sekitar 60.000-70.000 ulama dan dai yang perlu ditraining tentang bank syariah. Bila mereka secara serempak mendakwahkan keunggulan bank syariah di 700.000 mesjid di Indonesia, maka market share bank syariah dalam beberapa bulan akan naik menjadi 30 %. Kita telah membuktikan hal ini di beberapa kota di mana ada kantor cabang bank syariah, sehingga sebuah kantor kas bank syariah bisa terbaik se-Indonesia dalam beberapa bulan untuk kategori penghimpunan dana pihak ketiga. Asset bak syariah bisa meningkat secara fantastis 300 atau 400 %. Banyak lagi yang bisa dilakukan untuk memajukan bank syariah, jika kita punya dana promosi dan pengembangan. (Penulis adalah Sekjen DPP IAEI, Dosen Pascasarjana PSTTI UI, Dosen Pascasarjana Islamic Economics and Finance Universitas Trisakti, Dosen Pascasarjana Bisnis dan Keuangan Islam Univ.Paramadina dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.)

Terakhir di Update ( Tuesday, 09 October 2007 )

Tidak ada komentar: